PERANG, DIMANAPUN HANYA MENGHASILKAN KEHANCURAN. KEKALAHAN UNTUK SEMUA KEMENANGAN HANYA BUAT BISNIS SENJATA

5 Jul 2014

Mencari Kehidupan di Luar Tata Surya


Keyakinan filsuf Italia, Giardano Bruno, pada 1584 dianggap tak masuk akal. Bruno menyebut banyak matahari dan bumi di atas sana. Jumlahnya tak terhitung.
Otoritas setempat pun bereaksi. Keyakinan Bruno dipandang sesat.

Bruno sebenarnya mengikuti pendapat dari Copernicus, yang pada awal abad ke-16 menemukan fenomena astronomi Bumi mengorbit Matahari. Gagasan yang berlawanan dengan otoritas gereja saat itu. Sama seperti Bruno, Copernicus pun saat itu dipandang sesat.

Gagasan planet lain di luar Tata Surya sebenarnya sudah menghiasi pikiran manusia sejak masa Yunani Kuno. Saat itu, masyarakat telah mengenal ide sistem Tata Surya lain dan kemungkinan ada kehidupan lain pada sistem luar itu.

Meski dianggap lontaran sesat, ide planet di luar Tata Surya tak surut muncul. Rangkaian ide planet lain itu semakin berkembang.

Empat abad setelah Copernicus, muncul ahli astronomi, Edwin Hubble. Menggunakan teleskop terbesar di puncak Gunung Wilson, California, ia mengamati langit ruang angkasa. Saat itu, Hubble menemukan nebula (awan antarbintang) kecil di langit jauh, yang masing-masing berisi ratusan miliar bintang.

Temuan Hubble itu menjadi titik tolak potensi adanya planet luar Tata Surya, yang jumlahnya beragam. Pada 1960-an, temuan planet selain Bumi makin menggema. Astronom Peter van de Kamp mengaku telah mendeteksi dua planet dengan teknik deteksi efek planet pada bintang yang diorbit. Sayangnya, saat itu gagal untuk memverifikasi keberadaan pendamping bintang Barnand, sistem bintang terdekat kedua dengan Matahari.

Prospek planet luar Bumi kembali cerah. Pada 1980-an, Dr Bradford A. Smith (University of Arizona) di Tucson dan Dr Richard J. Terrile (Jet Propulsion Laboratory), melakukan pengamatan inframerah dari piringan debu yang mengelilingi bintang normal Beta Pictoris.

Akhirnya, penemuan eksoplanet makin menggelombang, saat astronom radio Pennsylvania State University, Dr. Alexander Wolszczan, pada 1994, melaporkan bukti pengamatan yang jelas tentang sistem planet eksoplanet, planet di luar Tata Surya.

Setahun kemudian, tim peneliti dari Swiss, Michael Mayor dan Didier Queloz, mengumumkan penemuan planet luar Tata Surya mirip Bumi, 51 Pegasi. Pengumuman itu menjadi awal banjirnya temuan dan menyibak tabir eksoplanet lainnya.

Menurut catatan Planetary Habitability Laboratory University of Puerto Rico, hingga awal Juli 2014, tercatat sudah terkonfirmasi ada 1800 eksoplanet dan 4254 kandidat eksoplanet. Temuan eksoplanet menegaskan masih ada planet lain di luar Tata Surya.

Dari deteksi eksoplanet itu, perkembangan kemudian mengarah pada apakah ada kemungkinan planet luar Tata Surya itu terdapat kehidupan atau berpotensi dihuni kehidupan, khususnya bagi manusia jika nanti suatu saat Bumi sudah tak mendukung kehidupan lagi. Sejauh ini, dari 1.800 planet eksoplanet, 23 di antaranya disampaikan berpotensi layak huni.

Sementara itu, menurut data Teleskop Kepler NASA, kandidat planet layak huni mencapai 100 planet, dengan rincian 1 planet layak huni seukuran Mars, 7 (seukuran Bumi) dan 92 berukuran sangat besar (super Bumi).

Rentang planet mirip Bumi yang layak huni itu berjarak antara 12 tahun cahaya (Tau Ceti e) sampai Kepler-283 c yang berjarak 1.740 tahun cahaya.
Secara rinci, planet yang sudah disebutkan berpotensi layak huni yaitu Tau Ceti e (12 tahun cahaya/light year/ly), Kapteyn b (13 ly), Gliese 832 c (16 ly), Gliese 682 c (17 ly), Gliese 581 d (20 ly), Gliese 581 g (20 ly), Gliese 667C c (24 ly), Gliese 667C e (24 ly), Gliese 667C f (24 ly), Gliese 180 b (38 ly), Gliese 180 c (38 ly), dan Gliese 442 b (41 ly).

Selain itu, terdapat HD 40307 g (42 ly), Gliese 163 c (49 ly), Kepler-186 f (490 ly), Kepler-22 b (620 ly), Kepler-61 b (1060 ly), Kepler-174 d (1170 ly), Kepler-62 e (1200 ly), Kepler-62 f (1200 ly), Kepler-298 d (1550 ly), Kepler-296 f (1690 ly), dan Kepler-283 c (1740 ly).
Kepler 22b berukuran 2,4 kali bumi
Planet Kepler 22b ini memiliki ukuran 2,4 bumi.
Zona layak huni merupakan orbit sebuah planet atas bintang yang mana memiliki permukaan cair. Ini menjadi syarat berkembangnya sebuah kehidupan makhluk di alam semesta.

Munculnya planet layak huni mirip Bumi diperkirakan terus bertambah. Temuan teranyar, pada akhir Juni lalu, muncul planet layak huni lain yang dinamakan Gliese 832 c, yang berjarak 16 tahun cahaya dari Bumi.

Salah satu planet yang saat ini dalam proses eksplorasi yakni Planet Merah atau Mars. Planet ini diproyeksikan akan menjadi koloni baru manusia di masa depan, saat Bumi sudah tak mendukung untuk kehidupan.

Layak Huni
Secara radius, Mars dekat dengan Bumi. Namun, untuk menilai sejauh mana planet baru menyandang kandidat potensial bisa dihuni kehidupan, para ahli telah menetapkan beberapa syarat.

Pertama, yakni secara ukuran, baik ukuran massa planet maupun radius planet. Kedua, karakteristik orbitnya, dan syarat yang umum yakni pada permukaan eksoplanet.

Apakah di permukaan terdapat cairan atau air yang berfungsi sebagai pelarut. Cara itu dipandang lebih mudah untuk memahami dan mengatakan apakah sebuah planet layak untuk dihuni.

Kategori lain juga eksplorasi bawah permukaan planet. Jika di bawah permukaan ditemukan bakteri atau organisme, planet itu memenuhi syarat sebagai planet yang layak huni.
Di luar planet yang layak dihuni, temuan para ahli juga menunjukkan beberapa eksoplanet itu mirip Bumi. Kategori planet mirip Bumi ini merujuk pada massa dan radius dari Bumi. Planet mirip Bumi setidaknya memiliki massa 0,1 sampai 0,5 massa Bumi dengan radius dari Bumi 0,8 sampai 1,25 dari radius Bumi.

Upaya keras peneliti untuk membuktikan intuisi pada abad ke-16 dan perjuangan pada abad modern tidaklah mudah. Eksoplanet jutaan kali lebih redup dibanding bintang yang diorbiti, sehingga penemuan eksoplanet menemui berbagai tantangan.

Tantangan untuk menemukan eksoplanet setidaknya ada tiga. Pertama, planet tak menghasilkan cahaya secara mandiri, kecuali saat planet itu berusia muda. Kedua, jarak planet itu sangat jauh dari Bumi, mulai dari puluhan sampai ribuan tahun cahaya.

Selanjutnya planet-planet itu kalah berkilau dari cahaya yang dipancarkan bintang induknya.

Sebagai gambaran, sebuah planet yang mengorbit bintang terdekat dengan Bumi, Proxima Centauri, posisi planet itu 7 ribu kali lebih jauh dari Pluto. Untuk mengamati planet dengan jarak yang sangat jauh, bisa dibilang cukup langka.
Tapi, dengan perkembangan teknologi, satu demi satu eksoplanet dapat terdeteksi. Beragam metode digunakan astronom untuk menemukan eksoplanet.

Metode Deteksi
Astronom bisa mendeteksi eksoplanet dengan berbagai metode. Pertama, mengukur kecepatan atau perubahan posisi bintang yang diorbiti eksoplanet. Metode ini dinamakan pergeseran efek Doppler. 

Bintang bergeser saat mendapatkan efek tarikan gravitas planet yang mengitarinya. Model kecepatan radial akan mengukur perubahan kecil kecepatan bintang, berwujud spektrum cahaya bintang. Efek ini yang disebut pergeseran Doppler.

Saat bintang bergeser mendekat pengamatan astronom, gerakan cahaya yang ditimbulkan akan berwarna spektrum biru. Dan, saat menjauh dari pengamatan astronom, spektrum yang terlihat berwarna merah.

Semakin besar massa planet itu, maka pergeseran spektrum cahaya yang dihasilkan makin besar dan makin memudahkan pengamatan. Maka tak heran, kebanyakan eksoplanet awal yang ditemukan yaitu planet kelas Jupiter, yang ukurannya 300 kali massa Bumi.

Metode kedua yaitu pengukuran astrometri. Metode ini mengukur posisi bintang di langit dengan cara mengamati perubahan posisinya dari waktu ke waktu.

Seperti pada teknik deteksi kecepatan radial, metode ini tergantung pada gerakan kecil bintang yang disebabkan planet yang mengorbit.
Instrumen astrometrik juga disebutkan secara tepat mengukur posisi bintang dibandingkan bintang lain di sekitar mereka.
Dengan demikian, metode ini, dapat mendeteksi tiap gerakan posisi bintang, sebab bintang bergoyang-goyang akibat tarikan gravitasi eksoplanet. Metode deteksi ketiga yaitu saat planet transit melewati bintang. Metode ini memanfaatkan transit.

Saat planet melintasi (atau transit) di depan bintang induknya, maka pancaran cahaya bintang itu sedikit berkurang karena terhalang oleh planet tersebut. Pada momentum ini, sebuah instrumen pengamatan akan mendeteksi adanya perubahan periode kecerahan bintang.

Pengamatan metode transit itu memanfaatkan Teleskop Kepler dan pesawat antariksa Convection Rotation and planetary Transits (COROT). Keduanya mampu memantau sejumlah besar bintang dan peredupannya akibat adanya transit eksoplanet yang tengah mengorbit. Misi Kepler ini telah berhasil menemukan lebih dari 1.000 eksoplanet yang potensial dihuni.

Metode keempat yang digunakan yaitu pencitraan langsung, koronografi. Cara ini  menggunakan perangkat penutup khusus untuk menghalangi cahaya bintang, sehingga eksoplanet yang mengorbit bisa terlihat lebih jelas. Teknik pencitraan lain yaitu interferometri.
Cara ini menggunakan optik khusus menggabungkan cahaya dari beberapa teleskop untuk membatalkan gelombang cahaya bintang,  yang akhirnya akan menyisakan cahaya dari eksoplanet yang mungkin ada. Metode ini memanfaatkan Large Binocular Telescope Interferometer dan Keck Interferometer.

Metode kelima yang dimanfaatkan astronom yaitu lensa mikro gravitasi. Saat sebuah eksoplanet lewat di depan bintang lurus dengan segaris dengan pengamat, gravitasi planet akan berperilaku seperti lensa.

Gravitasi itu akan memfokuskan sinar cahaya dan menyebabkan peningkatan signifikan kecerahan sementara dan perubahan posisi bintang yang tampak. Dengan metode ini, astronom bisa menemukan benda yang memancarkan cahaya atau yang tidak memancarkan cahaya.

Hanya Ilusi?
Kerja ilmuwan menemukan eksoplanet bukan tanpa pandangan miring. Sara Seager, Professor of Planetary Science and Physics Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengaku ditentang oleh banyak orang. Penentang itu mengkritik kenapa Seager meneliti planet yang diyakini tidak akan terjadi.

Bahkan, penentang mengatakan jika benar eksoplanet ada, ilmuwan tak akan mampu mempelajari atmosfer planet itu.

Seager menekankan, untuk membuktikan kategori layak huni pada eksoplanet kuncinya ada pada atmosfer dan suhu. Sayangnya, ia mengakui, belum ada pegangan soal atmosfer eksoplanet sejauh ini.
“Hal yang buruk adalah bahwa kita benar-benar tidak memiliki pegangan pada apa yang ada pada serangkaian atmosfer. Jadi, kita mungkin hanya akan memasuki tahap pada eksoplanet, yang mana kita hidup dengan ketidakpastian,” kata Seager.

Ia menjelaskan, alasan untuk mempelajari eksoplanet yaitu pertanyaan ingin mendalami sejauh mana kehidupan di luar Bumi. “Apakah kita sendirian? Kami ingin tahu apakah ada kehidupan di luar Bumi.
Akhirnya kita akan memiliki puluhan hingga ratusan calon planet Bumi seperti untuk mengkaji secara terperinci. Kami ingin melihat atmosfer mereka untuk tanda-tanda kehidupan,” ujar Seager dalam wawancara di situs Universe Today.

Peneliti Vikki Meadows, profesor Planetary Astronomy University of Washington, Seattle, AS, mengatakan, perlunya multi parameter untuk mengukur tingkat planet yang bisa dihuni. Misalnya, interaksi planet itu dengan lingkungannya, bukan hanya mendasarkan pada komponen pada planet itu sendiri.  “Perlu lebih multi parameter,” ujar dia.

Sementara itu, Eric Ford, profesor Astronomy University of Florida, mengkritik soal publisitas berlebihan dari planet layak huni. Ia menduga, publisitas istilah planet layak dihuni sengaja dibesar-besarkan, guna menarik perhatian dunia.
Terkait dugaan itu, Dirk Schulze-Makuch, profesor School of Earth and Environmental Science, Washington State University mengatakan, masyarakat memang tertarik dengan ide ada kehidupan pada eksoplanet itu. Masyarakat, kata dia, tertarik bukan kehidupan mikroba saja, tapi kemungkinan kehidupan cerdas.
Tapi, temuan baru astronom Pennsylvania State University di University Park, Amerika Serikat belum lama ini membuat debat eksoplanet makin seru. Peneliti mengumumkan dua planet yang berpotensi dihuni, Gliese d dan Gliese f, ternyata hanya ilusi.

Sejauh ini, planet berpotensi layak huni, Gliese, terdapat 6 buah. Keberadaaan Gliese 581 e, 581 b, 581 c sudah dikonfirmasi, namun tiga lainnya 581 d, 581 f, 581 g masih disangsikan.

Pelacakan terbaru menggunakan metode kecepatan radial, 581 d dan 581 g ternyata menunjukkan efek cahaya yang ditangkap bukan berasal dari kedua planet itu. Efek spektrum cahaya ternyata bintik gelap dari aktivitas bintang induk kedua planet itu.

Untuk memastikan keduanya, peneliti menyelidiki bintang induk dua planet itu.
"Kami membuktikan beberapa sinyal kontroversial dari Gliese 581 yang tidak muncul dari dua planet layak huni yang diusulkan. Itu berasal dari aktivitas bintang itu sendiri," jelas penulis utama studi, Paul Robertson, astronom dari universitas di Pennsylvania State University di University Park, dilansir Space.com.

Seager mengakui, masih perlu mendalami riset menentukan eksoplanet benar-benar layak huni. “Perlu kerja keras selama 10 tahun untuk memastikan planet layak huni atau tidak,” kata dia.

Sumber Asli:
http://sorot.news.viva.co.id/news/read/518884-mencari-kehidupan-di-luar-tata-surya




No comments: